Ternyata Tidak Sesederhana yang Kita Rasakan
Seringkali kita berada pada satu kondisi atau situasi, mungkin karena sudah terbiasa dan sering, situasi dan kondisi itu kita pandang remeh, sepele dan sederhana.
Namun, bagi kalangan tertentu, situasi dan kondisi yang kita anggap biasa dan lumrah itu, ternyata merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kalangan lain.
Parahnya, kalau situasi dan kondisi itu memiliki keterkaitan dengan urusan agama, terkait dengan urusan keberagamaan kita. Dikatakan parah, karena hal ini memiliki sangkut paut dengan cita rasa keberagamaan, keimanan dan keimanan, sebab, bukankah kehidupan beragama, keimanan, ke-Islaman dan keihsanan itu dimulai dari urusan hati dan jiwa yang paling mendalam, mulai dari aqidah dan keyakinan, berlanjut kepada cita rasa dan perasaan (dzauq dan syu'ur), lalu amal perbuatan dan perilaku (amal dan suluk)?!
Ada dua contoh yang bisa dikemukakan terkait hal ini.
Pertama, pada suatu kali, datanglah seorang muslim Australia ke Jakarta. Sebagai tamu, sang muslim Australia itu pun mendapatkan perjamuan yang “istimewa”.
Selagi mereka (para tamu dan penerima tamu) sibuk dengan urusan makanan, “tiba-tiba”, terdengarlah suara adzan dari televisi di ruang tamu yang sebenarnya sudah semenjak tadi menyala.
Mungkin karena terbiasa, begitu televisi mengumandangkan adzan, shahibul bait pun segera mengambil remote dan mematikan tivi.
Tanpa dinyana-nyana, sang tamu meminta kepada shahibul bait untuk menyalakan kembali televisinya, dengan alasan, dia ingin menikmati suara adzan dari televisi.
Yang sama sekali tidak pernah disangka oleh shahibul bait saat itu adalah munculnya beberapa kenyataan, diantaranya:
· Sang tamu, untuk sementara berhenti makan.
· Pandangan sang tamu seakan terpana dan terpaku oleh televisi, lalu,
· Butiran-butiran air mata pun berjatuhan dari kedua mata sang tamu.
· Sang tamu itu menangis.
Apa yang membuatnya menangis? “Di televisi ada adzan!!!”. Fakta inilah yang membuat sang tamu itu menangis.
Jadi, kebiasaan kita, kita matikan televisi begitu televisi itu mengumandangkan adzan. Mungkin maksud kita adalah bahwa cukuplah kalimat adzan pertama di tivi itu menjadi tanda bahwa waktu shalat sudah masuk, dan karena kita ingin segera bersiap-siap untuk shalat, maka tivi pun segera kita matikan.
Namun, muslim Australia itu ternyata memandang bahwa di tivi ada adzan, itu sesuatu yang luar biasa dan langsung menyentuh sisi dan relung keberagamaannya yang paling dalam.
Kedua, di Turki, negara yang mengalami sekularisasi puluhan tahun itu, terjadi sesuatu yang mungkin menurut kita biasa, namun bagi sebagian kalangan di sana amatlah luar biasa.
Ceritanya, pada sebuah acara penataran para guru SD, datanglah seorang instruktur dari negara Arab.
Dalam memulai pengisian acara penataran itu, sang instruktur mengawali kalimatnya dengan bismillah, alhamdulillah dan shalawat serta salam kepada Rasulillah. Sebuah kata pembuka yang “sangat biasa”, sangat lumrah dan sangat lazim. Menurut kita.
Ternyata, sesuatu yang kita anggap biasa, lumrah dan lazim itu, bagi orang-orang Turki yang mengalami sekularisasi dalam tempo yang sangat panjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka sangat terkejut, heran dan senang sekaligus. Seakan mereka dibangunkan dari tidur pulas nya yang panjang: bahwa, dalam Islam, dikenal adanya kata pembuka bismillah, hamdalah dan shalawat salam?!!
Dan ternyata pula, ada beberapa guru peserta penataran yang juga menitikkan air mata. Diantara alasan yang dikemukakan: “kami seakan baru tersadarkan bahwa Islam memiliki kata pembuka kalimat seperti ini”?!!
Ternyata, kata pembuka yang “sangat biasa” itu, tidak sesederhana yang kita rasakan.
Semoga, hal-hal yang sudah kadung biasa, kembali kita resapi dan hayati sebagai sesuatu yang luar biasa dalam urusan keberagamaan dan keimanan kita, amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar