Kamis, 17 Maret 2016

Merajut Ukhuwah untuk Kemenangan Dakwah

DALAM suatu riwayat Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya,

قالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَكْرَمِ أَخْلاَقِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ

Nabi saw bersabda : Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan" (H.R. Bukhari-Muslim).
"Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?" Sahabat menjawab, "Tentu saja!" Rasulullah pun kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan" (H.R. Bukhari-Muslim).
Saudaraku, dari hadis di atas dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan. Oleh karena itu, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah islamiyah merupakan salah satu tugas penting bagi kita.
Lalu, bagaimanakah agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauhmana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu yang bening bersih dan selamat. Karena, kalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka, hampir dapat dipastikan akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama muslim saja sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, bagaimana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?
Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam qalbu yang kusam dan busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang mengejawantah dalam aneka bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.
Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, sekurang-kurangnya salah satu di antara mereka adalah sekumpulan manusia bejat akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk melemahkan pihak yang lain.
Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan hina karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.
Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap adik, kakak, atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman sekantor karena ia lebih diperhatikan oleh atasan? Adakah kita saat ini masih menyimpan rasa ghill terhadap saudara seiman sesame kader dakwah,lantaran mungkin nasibnya lebih baik dari kita?
Bila demikian halnya, bagaimana bisa terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat muslim yang diperangi? Bagaimana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak muslim dirampas oleh kaum yang zalim? Bagaimana mungkin kita akan mampu menata kembali kejayaan umat Islam?
Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiyah. Karena, justru dari sini pula Rasulullah Saw. mengawali amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang tersapu berlapis-lapis hawa nafsu.
Manakala kesadaran telah tersemai, jangan heran kalau Umar bin Khaththab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat menempelkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas budak hitam yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman seaqidah tersebut.
Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, tampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang menorehkan keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang aneka macam buah pikirannya, sesederhana apa pun, adalah buah pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang menggelayut pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya sehingga berdialog dengannya selalu membuahkan kelapangan.
Tatapan matanya adalah tatapan bijak bestari sehingga siapa pun niscaya akan merasakan kesejukan dan ketenteraman. Wajahnya adalah cahaya cemerlang yang sedap dipandang lagi mengesankan karena menyemburatkan kejujuran itikad. Sementara itu, senyum yang tak pernah lekang menghias bibirnya adalah sedekah yang jauh lebih mahal nilainya daripada intan mutiara. Tak akan pernah terucap dari lisannya, kecuali untaian kata-kata yang penuh hikmah, menyejukkan, membangkitkan keinsyafan, dan meringankan beban derita siapapun yang mendengarkannya.
Jabat tangannya yang hangat adalah jabat tangan yang mempertautkan seerat-eratnya dua hati dan dua jiwa yang tiada terlepas, kecuali diawali dan diakhiri dengan ucapan salam. Kedua tangannya teramat mudah terulur bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sementara itu, bimbingan kedua tangannya, tidak bisa tidak, selalu akan bermuara di majelis-majelis yang diberkahi Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian, umat Islam harus memanfaatkan momentum hijriyah ini dengan berhijrah dari keberpecahbelahan menuju ukhuwah islamiyah, seraya menepis remah-remah jahiliyah dari hati ini. Memiliki qalbu yang bersih dan selamat harus di atas segala-galanya agar kita mampu mengevaluasi diri dengan sebaik-baiknya dan menatap jauh ke depan agar Islam benar-benar dapat termanifestasikan menjadi rahmatan lil 'aalamiin dan umat pemeluknya benar-benar menjadi "sebaik-baik umat" yang diturunkan di tengah-tengah manusia. Wallahu a'lam. ***


Minggu, 13 Maret 2016

Melihat Surga di depan mata

Surga adalah suatu pembalasan yang agung dan pahala tertinggi bagi para hamba Allah yang taat. Surga merupakan suatu kenikmatan sempurna. Tak ada sedikit pun kekurangannya. Tak ada kemuraman di dalamnya.
Penggambaran surga yang difirmankan oleh Allah swt. dan disabdakan oleh Nabi saw., memang hampir tak mampu kita gambarkan dengan otak dan imajinasi kita yang terbatas ini. Betapa sulit membayangkan kenikmatan yang demikian besar. Sungguh kemampuan imajinasi kita akan terbentur pada keterbatasannya.
Kita coba untuk memvisualisasikan dalam angan hadits Qudsi yang menceritakan tentang gambaran surga berikut ini,

أعددت لعبادي الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر

“Kami sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu, yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga dan tak pernah terlintas oleh hati manusia…”
“Seorang pun tak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-sajdah 17)

Allah swt. menentukan hari masuknya ke surga pada waktu tertentu dan memutuskan jatah hidup di dunia pada batas waktu tertentu serta menyiapkan di dalam surga berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan terlintas dalam hati. Dia memperlihatkan dengan jelas surga kepada mereka agar dapat melihatnya dengan mata hatinya karena penglihatan mata hati lebih tajam daripada pandangan mata kepala.

“Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka kursinya diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang. Jika ia penghuni surga, maka ia adalah penghuni surga. Jika ia penghuni neraka, maka ia adalah penghuni neraka. Kemudian dikatakan, Inilah kursimu hingga Allah Ta’ala membangkitkanmu pada hari kiamat nanti.” Bukhari-Muslim

Sungguh Nabi Muhammad saw. telah melihat di dekatnya terdapat surga tempat tinggal sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Anas dalam kisah Isra’ dan Mi’raj. Pada akhir hadits tersebut dijelaskan,

“Jibril berjalan terus hingga tiba di Sidratul Muntaha dan ternyata Sidratul Muntaha ditutup dengan warna yang tidak aku ketahui.” kata Rasulullah saw. lebih lanjut, “Kemudian aku masuk ke dalam surga dan ternyata di dalamnya terdapat kubah dari mutiara dan tanahnya beraroma kesturi. Bukhari-Muslim

Simaklah sebuah puisi tentang surga:

Wahai penghuni surga, kalian di surga ini
Tetap dalam kenikmatan dan tak pernah terputus
Hidup terus dan tidak akan mati
Kalian berdomisili di sini terus dan tak akan pindah tempat
Dan kalian muda terus serta tidak tua

“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya.” Az-Zumar 39:73

Cobalah renungkan ketika kelompok di atas digiring menuju tempatnya di surga secara berkelompok. Kelompok yang bahagia bersama dengan saudara-saudaranya. Mereka beriringan dan bersatu padu. Masing-masing dari mereka terlibat dalam amal perbuatan dan saling kerjasama dengan kelompoknya serta memberi kabar gembira kepada orang-orang yang hatinya kuat sebagaimana di dunia pada saat mereka bersatu dalam kebaikan. Selain itu, setiap orang dari saling canda antar sesamanya.

“(Yaitu) Surga Aden yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka. Di
dalamnya mereka bertelekan (di atas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga tersebut.” Shaad: 50-51

Anda perhatikan bahwa ada makna indah pada ayat di atas ketika mereka telah masuk ke dalam surga, maka pintu-pintu itu tidak tertutup bagi mereka dan dibiarkan terbuka lebar untuk mereka. Sedangkan neraka, jika para penghuninya telah masuk ke dalamnya, maka pintu-pintu langsung ditutup rapat bagi mereka
.
“Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka.” Al-Humazah:8

Dibiarkannya pintu-pintu surga terbuka untuk para penghuninya adalah isyarat bahwa mereka dapat bergerak secara leluasa bagi mereka. Serta masuknya para malaikat masuk setiap waktu kepada mereka dengan membawa hadiah-hadiah dan rizki untuk mereka dari Rabb mereka serta apa saja yang menggembirakan mereka dalam setiap waktu.

“Di surga terdapat delapan pintu. Ada pintu yang namanya Ar-Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang puasa.” Bukhari dan Muslim

“Barang Siapa yang berinfak dengan sepasang unta atau kuda atau lainnya di jalan Allah swt., maka ia dipanggil dari pintu-pintu surga. “Wahai hamba Allah, pintu ini lebih baik. Barang Siapa yang rajin shalat, maka ia dipanggil di pintu shalat. Barang Siapa berjihad, maka ia dipanggil di pintu jihad. Barang Siapa rajin bershadaqah, maka ia masuk dari pintu shadaqah. Dan barang siapa puasa, maka ia dipanggil dari Ar-rayyan.”Abu Bakar berkata,”Wahai Rasulullah, apakah setiap orang dipanggil dari pintu-pintu tersebut? Adakah orang dipanggil dari semua pintu tersebut? Rasulullah saw. menjawab,”Ya, dan aku berharap engkau termasuk dari mereka.”

“Siapa di antara kalian yang berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya lalu membaca Asyhadu an laa ilaaha illallahu wahdahulaa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu, maka dibukakan baginya pintu-pintu surga yang berjumlah delapan dan ia masuk dari mana saja yang ia sukai.” Imam Muslim

“Jika seorang muslim mempunyai tiga orang anak yang belum baligh kemudian meninggal dunia, maka mereka menjumpainya di pintu-pintu surga yang delapan dan ia bebas masuk dari pintu mana saja yang ia sukai.” k
“Demi Muhammad yang jiwanya ada di Tangan-Nya, jarak antara dua daun pintu surga adalah seperti Makkah dan Hajar atau Hajar dan Makkah.” Imam Bukhari

Dalam redaksi lain,
“Antara Makkah dan Hajar atau Makkah dengan Bushra.” (Hadits ini keshahihannya disepakati pakar hadits).
“Kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian adalah umat yang terbaik dan termulia di sisi Allah. Jarak di antara dua daun pintu surga adalah empat puluh tahun. Pada suatu hari ia akan penuh sesak.” Imam Ahmad
“Pintu yang dimasuki oleh penghuni surga jaraknya adalah sejauh perjalanan pengembara dunia yang ahli, tiga kali lipat. Kemudian penghuni surga memenuhinya hingga pundak mereka nyaris lengkap.” Abu Nu’aim

“Allah Azza wajalla menciptakan Adam mirip dengan wajah-Nya. Postur tubuh Adam adalah enam puluh hasta. Usai menciptakan Adam Allah berfirman, “Pergilah dan ucapkan salam kepada sekumpulan tersebut. Mereka adalah para malaikat yang sedang duduk-duduk dan mendengarkan salam yang mereka sampaikan kepadamu, karena salam tersebut adalah salammu dan salam anak keturunanmu.”

Kata Rasulullah saw., “Lalu Adam pergi ke tempat mereka dan berkata, “Salam sejahtera atas kalian.” Mereka menjawab, “Salam sejahtera juga atasmu dan begitu juga rahmat Allah.” Kata Rasulullah saw. lebih lanjut“Maka setiap orang yang masuk ke dalam surga wajahnya seperti wajah Adam dan postur tubuhnya adalah enam puluh hasta. Setelah Adam, manusia mengecil hingga sekarang.” Ahmad, Bukhari dan Muslim

“Penghuni surga masuk ke dalam surga dengan rambut pendek, belum berjenggot, matanya bercelak dan usianya tiga puluh tiga tahun.” Imam Tirmidzi

“Jika penghuni surga meninggal dunia, baik pada saat kecil atau tua, maka mereka dikembalikan dengan usia tiga puluh tahun di surga dan usianya tidak bertambah selama-lamanya. Begitu juga penghuni neraka.” Imam Tirmidzi

“Penghuni surga masuk surga dengan ketinggian Adam, enam puluh hasta dengan ukuran orang besar, dengan wajah tampan setampan Nabi Yusuf, Seusia Nabi Isa, tiga puluh tiga tahun, lidahnya fasih sefasih Nabi Muhammad, belum berjenggot dan berambut pendek.” Ibnu Abu Dunya

Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya derajat penghuni surga yang paling rendah yang berada di tingkat keenam dan ketujuh. Disediakan baginya tiga ratus pelayan yang setiap pagi dan sore melayaninya dengan memberikan tiga ratus piring. Yang saya ketahui piring tersebut terbuat dari emas.”

“Setiap piring mempunyai warna tersendiri yang tidak dimiliki oleh piring yang lain. Ia menikmati dari piring yang pertama hingga piring terakhir. Pelayan-pelayan juga memberikan tiga ratus minuman di mana setiap minuman mempunyai warna tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat minum yang lain. Ia menikmati tempat minum pertama hingga tempat minum terakhir.”

Ia berkata,” Rabbku, jika Engkau mengizinkan, maka aku akan memberi makan dan minum kepada penghuni surga dengan tidak mengurangi jatah yang diberikan kepadaku. “Sesungguhnya ia mempunyai istri sebanyak tujuh puluh dua orang yang berasal dari wanita-wanita surgawi yang matanya cantik jelita belum temasuk istri-istrinya dari wanita dunia. Salah seorang dari istri-istri mereka mengambil tempat duduknya yang panjangnya satu mil ukuran dunia.”(HR Ahmad)

“Dan penghuni surga yang paling tinggi atau mulia di sisi Allah adalah orang yang melihat wajah Allah setiap pagi dan petang. Kemudian Rasulullah saw. membaca ayat, “Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada saat itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” HR Tirmidzi

“Saya datang ke pintu surga, lalu saya buka. Sang penjaga bertanya, “Siapakah Anda?” Saya menjawab, “Saya Muhammad.” Penjaga pintu lalu berkata, “Saya memang diperintah agar pintu surga ini tidak saya buka sebelum Anda terlebih dulu masuk.” Imam Muslim

Rasulullah bersabda, “Jibril datang kepada saya dan memberi informasi tentang pintu surga yang akan dimasuki oleh umatku.” Mendengar itu, Abu Bakar bertanya, “Ya Rasulullah saw. aku ingin bersamamu hingga dapat melihat pintu surga.” Rasulullah menjawab, “Engkau wahai Abu bakar, adalah orang pertama dari umatku yang memasuki surga.” Imam Bukhari-Muslim

Pertama kali dari golongan umat yang masuk surga tanpa melalui proses hisab ialah mereka yang berderajat tinggi dan agung dalam iman dan taqwanya, beramal shaleh dan istiqamah.

“Mereka berbaris dalam satu regu, wajah mereka memancarkan kepuasan seperti rembulan saat pertama. Tubuh mereka bersih dari kotoran. Tidak meludah, tidak berdahak dan tidak pula buang air. Tempat-tempat singgahnya terbuat dari emas, sisirnya terbuat juga dari emas dan perak. Tempat apinya adalah kayud, keringatnya berupa minyak misyk, setiap lelaki memiliki pasangan istri yang kulitnya cemerlang seolah-olah sumsumnya tampak dari balik daging. Mereka tidak pernah berselisih, tidak saling membenci sebab mereka sehati. Bacaannya tiap kali adalah tasbih, setiap pagi maupun sore.” Imam Bukhari

Rasulullah saw. Bersabda:
“Pasti masuk surga di antara umatku yang berjumlah tujuh puluh ribu orang tanpa hisab atau tujuh ratus ribu orang. Mereka saling bergandeng hingga masuk surga semuanya. Wajah mereka seperti rembulan pada saat pertama.” Imam Bukhari dan Muslim

Ibnu Abas ra berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
“Semua umat diperlihatkan kepadaku kemudian aku lihat ada nabi yang diikuti oleh sekelompok orang pengikutnya. Ada nabi yang diikuti oleh satu dan dua orang. Ada nabi yang tidak diikuti oleh sorangpun. Diangkat kepadaku kumpulan manusia yang sangat banyak lalu aku mengira bahwa mereka adalah umatku lalu dikatakan kepadaku, “Ini adalah Musa dan kaumnya. Lihatlah ke ufuk langit!” Lalu aku melihat ke ufuk langit dan ternyata di sana ada kumpulan manusia yang sangat banyak. Dikatakan kepadaku, “Ini adalah umatmu dan di antara mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan disiksa. Setelah itu Rasulullah masuk ke dalam rumah.

“Sementara orang-orang sibuk membicarakan siapa sebenarnya mereka yang masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa disiksa. Sebagian mereka berkata,

“Barangkali mereka adalah mereka yang menemani Rasulullah saw.” Sebagian yang lain berkata, “Barangkali mereka adalah yang dilahirkan dalam keadaan Islam dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun.” Mereka juga menafsirkan dengan berbagai macam tafsiran.

Lalu Rasulullah ke luar menemui mereka dan bertanya, “Apa yang kalian bicarakan?” Mereka pun menceritakan hasil pembicaraannya. Lantas Rasulullah saw. bersabda,” Mereka adalah orang-orang yang meruqyah dan tidak minta diruqyah, tidak jatuh dalam tathayyur (mengaitkan nasib dengan burung atau lainnya) dan hanya kepada Allah mereka bertawakkal.”

Ukasyah bin Mihshan berdiri lalu berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Ia menjadikan aku di antara mereka. “Rasulullah saw. menjawab, “Anda termasuk di antara mereka!” Orang laki-laki yang lain berdiri dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Allah menjadikanku di antara mereka!” Rasulullah saw. menjawab, “Anda kalah cepat dengan ‘Ukasyah.”

Ibnul Atsir telah mengumpulkan perawi-perawi hadits ini di dalam Yamiil Ushul, dan di antara hadits itu menceritakan bahwa Abdullah bin Mas’ud ra menyampaikan bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

“Aku tahu orang terakhir yang ke luar dari neraka dan terakhir masuk surga. Ia ke luar dari neraka sambil merangkak, lalu Allah berfirman kepadanya,” Pergi dan masuklah ke surga!” Orang itu kemudian pergi menuju surga, namun terbayang olehnya bahwa surga telah penuh, lalu ia kembali kepada Allah dan berkata,” Ya Allah, surga sudah penuh.” Allah berfirman kepadanya,

“Pergilah dan masuklah ke dalam surga, sebab di sana tidak seperti di dunia melainkan sepuluh kali dunia. Lalu ia berkata, “Apakah Engkau ejek aku, atau Engkau tertawakan aku, sedang Engkau adalah Raja?”

Sebuah hadits riwayat Muslim menyampaikan hal serupa. Dikisahkan, Nabi bercerita tentang laki-laki yang masuk ke surga yang terakhir. Laki-laki itu berjalan pelan-pelan. Allah menyuruhnya segera masuk ke surga. Ia pun berjalan ke arah surga dengan hati yang bimbang. Ia angankan, setiap orang di surga itu telah memiliki rumah sendiri-sendiri. Dalam hatinya ia bertanya, dengan apakah ia akan bertempat tinggal?”

Maka untuk memastikan hatinya, Allah bertanya, “Apakah engkau masih ingat, setiap orang berada di rumahnya sendiri-sendiri?” Ingat ya Allah…”jawabnya penuh dengan angan harapan. “Sepuluh kali lipat rumah dunia?” tanya Allah. Apakah Engkau menghinaku ya Allah, sedangkan Engkau adalah Raja?” Dalam menceritakan itu Nabi tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.”

Mudah-mudahan kita semua diizinkan oleh Allah Ta’ala menjadi orang-orang yang senantiasa istiqamah di dalam meniti hidup dan kehidupan ini, sehingga ketika ruh ini dicabut oleh-Nya kita menerima anugerah husnul khatimah. Sehingga kita termasuk dan dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang dipanggil dengan penuh kelembutan:

“Yaa ayyathuna-nafsul muthma innah, irji-i ila Rabbiki raadhiatan mardhiyyah, fadkhulii fi ibadi wadkhuli jannati.”
Amin ya mujibas-saailin. Allahu a’alam

TIDAK SESEDERHAKAN YANG KITA RASAKAN

Ternyata Tidak Sesederhana yang Kita Rasakan
Seringkali kita berada pada satu kondisi atau situasi, mungkin karena sudah terbiasa dan sering, situasi dan kondisi itu kita pandang remeh, sepele dan sederhana.
Namun, bagi kalangan tertentu, situasi dan kondisi yang kita anggap biasa dan lumrah itu, ternyata merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kalangan lain.
Parahnya, kalau situasi dan kondisi itu memiliki keterkaitan dengan urusan agama, terkait dengan urusan keberagamaan kita. Dikatakan parah, karena hal ini memiliki sangkut paut dengan cita rasa keberagamaan, keimanan dan keimanan, sebab, bukankah kehidupan beragama, keimanan, ke-Islaman dan keihsanan itu dimulai dari urusan hati dan jiwa yang paling mendalam, mulai dari aqidah dan keyakinan, berlanjut kepada cita rasa dan perasaan (dzauq dan syu'ur), lalu amal perbuatan dan perilaku (amal dan suluk)?!
Ada dua contoh yang bisa dikemukakan terkait hal ini.
Pertama, pada suatu kali, datanglah seorang muslim Australia ke Jakarta. Sebagai tamu, sang muslim Australia itu pun mendapatkan perjamuan yang “istimewa”.
Selagi mereka (para tamu dan penerima tamu) sibuk dengan urusan makanan, “tiba-tiba”, terdengarlah suara adzan dari televisi di ruang tamu yang sebenarnya sudah semenjak tadi menyala.
Mungkin karena terbiasa, begitu televisi mengumandangkan adzan, shahibul bait pun segera mengambil remote dan mematikan tivi.
Tanpa dinyana-nyana, sang tamu meminta kepada shahibul bait untuk menyalakan kembali televisinya, dengan alasan, dia ingin menikmati suara adzan dari televisi.
Yang sama sekali tidak pernah disangka oleh shahibul bait saat itu adalah munculnya beberapa kenyataan, diantaranya:
· Sang tamu, untuk sementara berhenti makan.
· Pandangan sang tamu seakan terpana dan terpaku oleh televisi, lalu,
· Butiran-butiran air mata pun berjatuhan dari kedua mata sang tamu.
· Sang tamu itu menangis.
Apa yang membuatnya menangis? “Di televisi ada adzan!!!”. Fakta inilah yang membuat sang tamu itu menangis.
Jadi, kebiasaan kita, kita matikan televisi begitu televisi itu mengumandangkan adzan. Mungkin maksud kita adalah bahwa cukuplah kalimat adzan pertama di tivi itu menjadi tanda bahwa waktu shalat sudah masuk, dan karena kita ingin segera bersiap-siap untuk shalat, maka tivi pun segera kita matikan.
Namun, muslim Australia itu ternyata memandang bahwa di tivi ada adzan, itu sesuatu yang luar biasa dan langsung menyentuh sisi dan relung keberagamaannya yang paling dalam.
Kedua, di Turki, negara yang mengalami sekularisasi puluhan tahun itu, terjadi sesuatu yang mungkin menurut kita biasa, namun bagi sebagian kalangan di sana amatlah luar biasa.
Ceritanya, pada sebuah acara penataran para guru SD, datanglah seorang instruktur dari negara Arab.
Dalam memulai pengisian acara penataran itu, sang instruktur mengawali kalimatnya dengan bismillah, alhamdulillah dan shalawat serta salam kepada Rasulillah. Sebuah kata pembuka yang “sangat biasa”, sangat lumrah dan sangat lazim. Menurut kita.
Ternyata, sesuatu yang kita anggap biasa, lumrah dan lazim itu, bagi orang-orang Turki yang mengalami sekularisasi dalam tempo yang sangat panjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka sangat terkejut, heran dan senang sekaligus. Seakan mereka dibangunkan dari tidur pulas nya yang panjang: bahwa, dalam Islam, dikenal adanya kata pembuka bismillah, hamdalah dan shalawat salam?!!
Dan ternyata pula, ada beberapa guru peserta penataran yang juga menitikkan air mata. Diantara alasan yang dikemukakan: “kami seakan baru tersadarkan bahwa Islam memiliki kata pembuka kalimat seperti ini”?!!
Ternyata, kata pembuka yang “sangat biasa” itu, tidak sesederhana yang kita rasakan.
Semoga, hal-hal yang sudah kadung biasa, kembali kita resapi dan hayati sebagai sesuatu yang luar biasa dalam urusan keberagamaan dan keimanan kita, amin

Sabtu, 12 Maret 2016

DAKWAH SYABIAH

Akhi al-Karim,

Masih ingatkah tabiat jalan dakwah yang materinya telah kita terima dahulu? Jalan dakwah yang kita lalui ini sangatlah panjang. Karenanya, kita harus menitinya dengan penuh keteguhan dan keuletan, membuat langkah-langkah maju secara bertahap dan strategi bernafas panjang wajib dilakukan agar perjalanan bisa sampai di ujung tujuan.

Jalan dakwah penuh dengan halangan dan rintangan, penuh dengan onak dan duri bahkan godaan dan tipuan yang menyesatkan. Karenanya kita harus menempuh jalan itu dengan melipatgandakan kesabaran. Sabar membimbing dan menuntun kawan seperjuangan atau kawan yang dahulu pernah dalam bimbingan kita, sabar menerima nasihat dan kritik yang bermanfaat atau kritik yang hanya sekedar kritik, sabar dan menahan diri dari godaan dan rayuan duniawi yang melalaikan dan menyengsarakan. Karena semakin jauh perjalanan ditempuh semakin berat ujian dan cobaan menghadang.
Jalan dakwah ini memiliki beban yang sangat berat, beban risalah Ilahiyah, beban menyelamatkan manusia dari kejahilan, kezhaliman dan kesengsaraan. Karenanya kita harus memperkuat diri dengan kekuatan iman dan taqwa, kekuatan ilmu dan amal shalih.

Akhi al-Karim,

Jalan dakwah ini sangatlah panjang, penuh halangan dan rintangan. Beban yang dipikul dalam perjalanan itu pun sangatlah berat. Itulah tabiat jalan dakwah kita, dan itulah sunnah dakwah. Untuk itu, kita tidak akan bisa memahami mahawir dakwah tanpa memahami tabiat dan sunnah dakwah.
Bila satuan hari dan peristiwa dalam perjalanan dakwah ini kita ukur dengan jarak kilometer, mungkin hari ini kita telah menempuh jarak perjalanan ribuan kilometer. Sepanjang perjalanan itu, banyak suka-dukanya, banyak pemandangan yang indah, tetapi ada yang mengerikan.

Bila perjalanan dakwah yang hampir tiga dekade ini ibaratnya sama dengan tiga ribu kilometer, ketahuilah bahwa yang pertama melangkahkan kaki dan memulai perjalanan ini pada titik 0 kilometer hanya beberapa orang dai saja. Kemudian dalam perjalanan semakin banyak yang bergabung. Sedikit orang dai itu mulai melangkah pada saat kaum muslimin dicengkeram ketakutan luar biasa kepada rezim orde baru yang diktator. Sehingga fokus dakwah pada beberapa kilometer pertama ini adalah menyebarluaskan fikrah Islam yang shahih dan syamil, melakukan rekruitmen dan pembinaan calon-calon kader bangsa pilihan dan kemudian menata (mengorganisasikan) mereka dalam kerja-kerja dakwah.

Tahapan dakwah dengan fokus kerja seperti ini disebut Mihwar Tandzimi. Salah satu outputnya adalah lahirnya Qaidah Harakiyah yang memiliki Syakhshiyah Islamiyah Da‘iyah.

Tahap kedua perjalanan dakwah ini disebut Mihwar Sya’bi. Setelah para kader dan aktivis dakwah  mulai lahir dan tumbuh dalam jumlah yang memadai, selain program rekruitmen dan pembinaan tetap harus berjalan. Mereka mulai dilibatkan dalam proyek pembangunan masyarakat yang diinginkan oleh Islam. Kemudian berbagai lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan dan paguyuban, yayasan-yayasan sosial, pendidikan dan dakwah mulai tumbuh di setiap pelosok negeri. Lalu lahirlah para pekerja sosial yang tulus, guru-guru ngaji yang mukhlish, para pendidik profesional, dan pemimpin-pemimpin informal di tengah masyarakat yang merindukan keteladanan dalam kepemimpinan. Pada tahapan ini, Qaidah Sya’biyah yang akan menjadi basis sosial pendukung dakwah akan mulai terwujud.
Pada tahap ketiga, yang biasa disebut dengan Mihwar Muassasi, fokus kerja dakwah ditambah. Bukan hanya bekerja untuk melahirkan Qaidah Harakiyah dan Qaidah Sya’biyah, tetapi juga melahirkan Qaidah Fikriyah. Yakni melahirkan para teknokrat pemikir yang akan membimbing dan menentukan arah perjalanan bangsa dan bahkan terlibat dalam menjalankan dan mengendalikan kehidupan ini agar menjadi lebih baik.
Pada mihwar ini, para kader dakwah mulai terlibat dalam pengelolaan lembaga-lembaga formal. Baik lembaga kemasyarakatan, politik ataupun Negara.

Akhi al-Karim,

Hari ini, perjalanan dakwah kita sudah sampai di sini, sampai pada mihwar ketiga. Bila kita mengandaikan dengan jarak kilometer, jarak yang telah kita tempuh mungkin telah memasuki ribuan kilometer ketiga. Bila diukur dengan kondisi fisik manusia, tentu perjalanan yang sudah cukup jauh dan meletihkan. Di sinilah kita perlu merenung dan mencoba memahami perjalanan dakwah kita, perjalanan yang lalu dan perjalanan yang akan datang, agar lebih terjamin keselamatan kita hingga sampai tujuan.

Secara psikologis, bila perjalanan baru dimulai, semangat masih membara, soliditas tim sangat bagus. Ketika itu, jumlah kader masih sedikit dan kontrol Qiyadah sangat kuat. Problema personal pun nyaris tidak pernah terdengar. Problema internal yang muncul umumnya sebatas kebingungan mendapatkan uang kontrakan rumah, repot menutup tunggakan biaya kuliah atau pusing mencari biaya istri yang akan melahirkan. Akan tetapi, kondisi ini pun justru menjadikan dakwah lebih dinamis dan menambah militansi kader. Satu-satunya problem yang ada adalah problem eksternal; kediktatoran rezim dan pengucilan masyarakat yang masih merasa aneh dengan tampilan dan aktivitas kader dakwah.

Ketika dakwah sudah memasuki Mihwar Sya’bi, jumlah kader mulai banyak. Sehingga daya jangkau kendali Qiyadah dan Murabbi mulai berkurang. Pada mihwar ini, interaksi sosial kader mulai meluas. Interaksi tidak sebatas dengan sesama kader seperti saat dakwah masih di Mihwar Tanzhimi. Lingkungan baru ini sedikit banyak mempengaruhi tingkat konsistensi khuluqiyah dan sulukiyah sebagian kader.
Kader yang lengah akan mengalami idzabah ruhiyah  (pelarutan ruhani). Beban ekonomi keluarga semakin berat, anak mulai banyak, perjalanan dakwah masih panjang dan beban bertambah berat. Sementara sikap represif rezim orde baru tidak kunjung surut. Dalam kondisi seperti ini, sebagian kader mungkin saja mulai merasa letih. Sebagian dari mereka yang letih mulai mampu merevitalisasi diri sehingga mampu melanjutkan perjalanan dengan kondisi yang prima. Namun sebagian yang lain tidak mampu merevitalisasi diri sehingga surut dari jalan dakwah, hanyut ditelan zaman atau memilih jalan memperbaiki taraf hidup dan membangun ekonomi keluarga. Bagi yang memilih jalan ini, ketahuilah bahwa inilah jalan kehancuran itu.

Akhi al-Karim,

Kondisi di atas mungkin saja hadir dalam setiap tahapan perjalanan dakwah kita, kapan saja. Baik pada Mihwar Sya’biMihwar Muassasi dan Mihwar-mihwar yang akan datang lainnya. Karenanya marilah kita renungkan apa yang diceritakan oleh Abu Ayyub al-Anshari berikut:
“Ketika kaum muslimin sedang berperang membuka kota Konstantinopel, Istanbul saat ini, saat itu kaum muslimin berbaris dua baris, barisannya sangat panjang yang belum pernah ada barisan prajurit kaum muslimin sepanjang itu sebelumnya. Sementara pasukan Romawi berjaga-jaga di pinggiran pagar dan benteng kota Konstantinopel. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba salah seorang prajurit kaum muslimin melesat lari sendirian menyerang pasukan Romawi. Kontan saja kaum muslimin berkomentar, ‘Laa ilaha illaLlah, ia mencampakkan diri ke dalam kehancuran (padahal Allah mengatakan, “dan janganlah engkau campakkan dirimu ke dalam kehancuran)’”

Mendengar komentar tersebut, sahabat Rasulullah saw, Abu Ayyub al-Anshari mengatakan, ‘Kalian jangan menta’wilkan ayat ini seperti itu, kalian menganggap saudara kita yang mencari syahadah seperti itu sebagai mencampakkan diri ke dalam kehancuran! Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Anshar. Suatu ketika, di antara kami ada perbincangan lirih, tanpa didengar Rasulullah saw. ‘Selama ini kita telah meninggalkan urusan keluarga dan mata pencaharian kita hingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah saw, karenanya sebaiknya sekarang kita (istirahat dari jihad) membenahi urusan mata pencaharian kita yang terbengkalai!’ Ketika kami sedang berbincang seperti itu, Allah menurunkan wahyu dari langit,
Mencampakkan diri ke dalam kehancuran artinya berhenti berjihad untuk membenahi mata pencaharian. Maka, dalam kondisi apapun, Abu Ayub tetap berjihad fi sabilillah, tidak surut lalu menghilang, hingga ia pun mati syahid dan dimakamkan di Konstantinopel. (tafsir at Thabari 3/590 )

Ketika perjalanan dakwah sampai pada mihwar muassasi, dan dakwah dilakukan lebih terbuka, banyak yang tertarik dan bergabung dengan gerbong dakwah ini di tengah jalan. Saat itu, aktivitas pembinaan dan penataan kader lebih berat dibanding saat kita masih berada di Mihwar Tanzhimi dan Muassasi. Sementara itu, tugas dan peran para Murabbi semakin banyak. Dan pertumbuhan Murabbi baru dan kader-kader yang berkualitas tidak secepat respon publik terhadap dakwah.
Ketika Dakwah semakin luas dan merambah ke berbagai sektor kehidupan, kondisi ini mengharuskan kita melibatkan kader-kader muda potensial, kader dan simpatisan yang profesional untuk mengambil bagian, dalam berbagai peran dan tugas dakwah.

Pelibatan ini memiliki beberapa alasan. Pertama, pelibatan adalah bagian dari tarbiyah yang penting. Sehingga mereka memahami realita dan menguasai lapangan disamping menguasai teori dan nilai. Kedua, dakwah adalah milik semua dan beban dakwah adalah tanggung jawab semua. Semakin banyak yang terlibat dalam dakwah berarti semakin banyak yang memikul bebannya. Ketiga, semakin luas jangkauan dakwah semakin besar tuntutan adanya spesialisasi dan distribusi tugas dan beban.
Permasalahan ini menuntut para kader yang sudah lama terlibat dalam dakwah untuk berjiwa besar. Karena peran besar mereka sebelumnya, pada Mihwar Muassasi ini mulai tereduksi dan terdistribusi. Di sinilah kita akan memahami kaidah dakwah yang sudah kita hafal sejak dahulu,

لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ طَبِيْعَتُهِا وَلِكُلِّ مَرْحَلَةٍ اِحْتِيَاجَاتهََُاَ وَلِكُلِّ مَرُحَلَةٍ رِجَالهُاَ

Setiap marhalah memiliki karakter (sifat) tersendiri, dan setiap marhalah memiliki kebutuhan dan setiap marhalah memiliki pemimpinnya (tokoh, pionir).
Di sini, bukan berarti kita meminggirkan para pendahulu dari panggung dakwah. Tidak! Zaman sudah berkembang. Pembagian peran dan distribusi pekerjaan suatu keharusan. Peran mentarbiyah kader-kader muda sehingga mereka memiliki kematangan ma’nawi, fikri dan tanzhimi adalah peran besar yang hanya bisa dilaksanakan oleh para as-Sabiquunal Awwalun yang telah memiliki pengalaman panjang dalam tarbiyah. Selain itu, mereka juga harus berperan pada bidang tertentu yang mereka kuasai.
Akhi al-Karim,
Pada Mihwar ini, kemungkinan ada kader yang terkena polusi ideal dan moril adalah bagian dari sunnah kehidupan. Kemungkinan ada kader yang terseret arus kehidupan duniawi adalah manusiawi.
Sehingga, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan terkait hal ini. Pertama, tidak boleh dengan serta merta menyalahkan jamaah dan kebijakannya hanya karena ada satu atau dua kasus tertentu tanpa ada bukti yang kuat. Kedua, mendahulukan husnuzhan kepada ikhwah karena sangat mungkin apa yang kita lihat adalah salah. Jangan sampai sesuatu yang kita duga terkena polusi ternyata kacamata yang kita gunakan kacamata lama yang cocok kita gunakan pada saat kita ada di Mihwar Tandzimi. Jangan sampai kita menduga saudara kita itu telah terseret pada kemewahan duniawi, ternyata apa yang dia belanjakan untuk dirinya tidak lebih dari lima persen dari kekayaan atau pendapatannya dan ternyata apa yang ia infakkan untuk dakwah atau untuk membantu ikhwah yang lain jauh lebih besar. Ketiga, setelah mendahulukan husnuzhan dan kemudian melakukan tabayyun lalu ternyata apa yang kita duga sebelumnya benar, ada kewajiban tausiah dari kita secara langsung atau meminta tolong seseorang untuk mentausiahi dan bukan membicarakan aib saudara kita itu karena menutup aib adalah hak saudara dan kewajiban kita.

Akhi al-Karim,

Dalam perkembangan dakwah seperti sekarang ini, adanya sebagian kader yang “kritis” dan berani menyampaikan kekritisannya adalah baik bagi kita dan dakwah, apapun kondisi kekritisan itu. Kekritisan itu menjadi penyeimbang laju dakwah kita bahkan kadang menjadi polisi tidur yang membangunkan pengendara mobil dakwah ini dari kelalaian.

Kekritisan juga menjadi dinamisator yang akan menjadikan dakwah lebih dinamis. Hanya saja, kalau kader yang “kritis” adalah diri kita sendiri, tentu kita tidak ingin kekritisan itu membuat kondisi jamaah menjadi lebih buruk. Dan kita juga tidak ingin kalau kekritisan kita itu merugikan diri sendiri, yakni kita menjadi lebih jauh dari jamaah dakwah ini.

Untuk itu, kajilah terlebih dahulu masalah yang akan kita kritisi itu. Benarkah ada kesalahan? Kalau benar, apakah kesalahan itu kesalahan prinsip atau teknis? Atau mungkin ilmu dan pengetahuan kita terkait masalah tersebut masih terbatas sehingga tidak bisa menilai masalah itu dari berbagai sisi? Terakhir, jangan sampai “kekritisan” kita ini menjadikan diri kita sebagai “pengamat dakwah”, bukan pelaku dakwah.

Jangan sampai kita mengatakan telah terjadi kemunduran tarbiyah, sementara kita sendiri sudah berbilang tahun futur dari tarbiyah. Jangan sampai kita mengatakan telah terjadi penyimpangan dalam manhaj dakwah, tetapi kita tidak pernah membaca dan meng-update pengetahuan kita tentang kebijakan jamaah terkait manhaj dakwah. Semoga kita diridhai Allah dalam meniti jalan dakwah ini. Aamiin.

Jumat, 11 Maret 2016

Urgensi Waktu dalam Islam

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُوْمِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
Setiap orang yang beriman pasti menyadari bahwa kehidupan di muka bumi ini bukanlah tanpa batasan waktu. Setiap orang menjalani kehidupan sesuai “kontraknya” masing-masing dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Umur manusia berbeda satu dengan lainnya, begitu pun amal dan perbuatannya. Setiap mukmin akan menyadari bahwa ia tidak akan selamanya hidup dan tinggal di dunia ini. Bahwa keberadaannya di alam ini hakikatnya sedang menempuh proses perjalanan panjang menuju kehidupan akhirat yang kekal dan hakiki. Sikap yang demikian sungguh sangat berbeda dan bertolak belakang dengan sikap orang-orang yang hakikatnya tidak beriman. Sebagaimana hal ini disinggung dalam firman Allah SWT:

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Akan tetapi kalian (orang-orang yang ingkar) justeru lebih memilih kehidupan dunia. Padahal sungguh kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan kekal. (QS. al-A’la: 16-17).
Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Ada beberapa hal yang sering manusia lupakan, di antaranya pertanyaan: Kenapa manusia diciptakan? Apa kepentingan dan tugas mereka dalam kehidupan ini? Sering sekali manusia melupakan pertanyaan-pertanyaan ini sehingga mereka hidup dalam penuh kelalaian, hidup hanya dipergunakan untuk bersenang-senang, makan, minum, dan kesenangan-kesenangan lain yang bersifat dunia. Mereka sama sekali tidak memikirkan tentang proses kejadian dirinya. Sehingga ketika ajal menjemputnya, penyesalanlah yang menghinggapinya di mana saat itu penyesalan sudah tidak berarti lagi.

Dari sinilah perlunya iman yang kuat dalam diri kita supaya kita dapat berhati-hati dengan waktu. Pandai-pandailah memanfaatkannya. Ingatlah! Hari-hari kita jangan dilewati begitu saja tanpa hal yang bermanfaat dan bernilai positif. Sesaat demi sesaat, semua berlalu begitu cepatnya. Begitulah, diri kita berpindah dari pagi ke petang dan dari petang hingga pagi kembali. Apakah kita pernah bermuhasabah (introspeksi) terhadap diri kita sendiri? Sehingga kita bisa melihat lembaran-lembaran hari-hari kita dengan amal apa kita membukanya dan dengan amal apa pula kita menutupnya?
Ada sebuah pepatah berbunyi “Time is money”,“al-waktu ka al-saif”. Waktu adalah uang, waktu adalah pedang, waktu adalah perjalanan yang tidak akan pernah kembali. Itulah ungkapan yang sering kita dengar untuk menghargai waktu. Waktu adalah kehidupan. Tidak ada yang lebih berharga dalam kehidupan ini setelah iman selain “waktu”. Waktu adalah benda yang paling berharga dalam kehidupan seorang muslim. Ia tidak dapat ditukar oleh apapun. Ia juga tidak dapat kembali jika sudah pergi. Sungguh sangat merugi orang yang menyia-nyiakan waktunya.
Firman Allah:
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran.(Q.S Al-‘Ashr:1-3).
Dalam Islam, waktu bukan hanya sekadar lebih berharga dari pada emas. Atau seperti pepatah Inggris yang menyatakan time is money. Lebih dari itu, waktu dalam Islam adalah “kehidupan”, al-waqtu huwa al-hayah, demikian kata AS-Syahid Hasan Al-Banna.
Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
Dalam peribahasa orang barat “the time is money”, waktu adalah uang. Orang-orang arab sendiri mengibaratkan “al-waqtu kas-saif”, waktu itu ibarat pedang.
Nampaknya dari pengibaratan waktu di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Orang-orang barat yang selalu mengejar kehidupan duniawi mengibaratkan waktu adalah uang karena mereka merasa jika kehilangan satu detik saja maka uang akan melayang.
Sedangkan orang arab yang memang dari sebelum Islam datang pun sudah amat suka bersyair, maka lahirlah peribahasa waktu yang diibaratkan seperti pedang. Satu sisi pedang bisa menyelamatkan nyawa seseorang, tapi di lain waktu ia bisa sangat berbahaya bahkan bisa mengakibatkan kematian itu sendiri.
Adapun pepatah yang mengatakan bahwa waktu lebih berharga daripada uang, karena sejatinya uang adalah harta dunia yang bisa dicari. Sedangkan waktu adalah karunia Allah SWT yang tidak bisa dicari bahkan untuk mengembalikan satu detik yang telah kita lewati pun adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa terjadi.
Kehidupan duniawi memang dihiasi berbagai kesenangan, sehingga dengan kesenangan yang bersifat sementara tersebut membuat manusia sering terlena dan lupa waktu. Bahkan tidak jarang banyak waktu yang terbuang hanya untuk menikmati kehidupan duniawi semata tanpa berpikir bahwa dirinya kelak akan menghadap ke hadirat Sang Maha Pencipta untuk mempertanggung jawabkan semua amalan perbuatannya selama hidup di dunia. Maka kenapa kita harus terlena dengan kehidupan dunia?
Ingatlah, kematian adalah suatu peristiwa yang pasti terjadi pada semua makhluk hidup sebagai tanda habisnya masa kontrak di dunia.
Firman Allah surat Ali-Imran ayat 185.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“ Setiap makhluk (berjiwa) pasti mengalami kematian.” (Q.S Ali Imron : 185)

Dunia ini adalah tempat berbuat dan berbuat, tempat untuk berusaha dan bekerja, tempat untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat. Tempat untuk mencari bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S Al Qashash : 77)
Hadirin sidang Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT
Supaya manusia termotivasi untuk bisa memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya, ada tiga pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan tujuan manusia di dunia ini dan pertanyaan itu berlaku sepanjang masa. Tiga pertanyaan tersebut akan membekas dalam hati manusia jika ia menjawabnya dengan penuh perenungan.
Pertanyaan pertama, darimana kita berasal? Pertanyaan ini adalah merupakan simpul akidah, yang menurut kaum materialis mereka tidak mempercayainya. Mereka menganggap bahwa dunia dan isinya ini muncul dengan sendirinya. Sedangkan bagi orang yang beriman, pertanyaan ini akan memberi atsar yang kuat baginya. Pertanyaan ini akan mengingatkannya bahwa dia hanyalah makhluk yang tidak sempurna, makhluk yang hina yang tidak pantas untuk menyombongkan diri. Makhluk yang tidak mampu apa-apa kecuali Allah yang menghendakinya.
Pertanyaan kedua, untuk apa kita diciptakan? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang wajib dijawab oleh setiap orang setelah mengetahui bahwa ia di dunia ini hanyalah makhluk bagi Allah dan makhluk yang dipelihara oleh Allah Sang Pemelihara alam ini. Yaitu melalui penjabaran: untuk apa manusia diciptakan? Kenapa manusia diberi keistimewaan yang lebih dibanding makhluk yang lain? Dan apa kepentingan mereka di atas bumi ini? Perlu diketahui, bahwa manusia diciptakan di dunia ini dengan berbagai kelebihannya, bukan hanya sekedar untuk memenuhi hawa nafsu belaka, tapi Allah jadikan manusia di muka bumi ini adalah sebagai khalifah, sebagaimana firman-Nya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Al Baqarah : 30)
Hal pertama yang harus diketahui manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah mengenal Allah dengan benar dan menyembah-Nya dengan sebenar-benar penyembahan. Karena manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah adalah untuk beribadah hanya kepada Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُون
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Q.S Adz-Dzariyat 56)
Pertanyaan Ketiga, kemanakah tujuan kita? Pertanyaan ketiga ini bagi kaum materialis, mereka memberikan suatu jawaban. Tetapi hal itu justru menurunkan martabat kemuliaan manusia menempati kedudukan binatang.
Mengenai tempat kembali manusia setelah menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan sederhana sekali mereka mengatakan: secara mutlak manusia akan hancur dan binasa. Mereka dilipat oleh bumi sebagaimana penguburan bermilyar binatang dan makhluk lainnya di dalam perut bumi. Jasad ini akan kembali ke unsur-unsur penciptaannya yang pertama. Jadi, mereka akan kembali menjadi debu yang diterbangkan oleh angin.
Begitulah cerita kehidupan manusia menurut mereka. Tiada keabadian dan pembalasan, tiada perbedaan antara yang berbuat baik dan yang berlaku jahat. Berbeda dengan orang mukmin, tentu mereka sudah mengerti ke mana tujuan mereka pergi. Mereka menyadari bahwa dunia ini hanya sesaat.
Dari tiga pertanyaan di atas, jika seseorang bisa merenungkannya dengan penuh penghayatan, maka ia akan menjadi seseorang yang rajin dan bisa memanfaatkan waktunya dengan baik. Sehingga tidak akan timbul penyesalan di kemudian hari.
Hadirin sidang jama’ah jumat yang berbahagia,
Salah satu yang sering dilalaikan oleh manusia adalah waktu luang. Di mana manusia memiliki jeda dalam rumitnya aktivitas sehari-sehari. Orang sesibuk apapun bekerja baik di kantor, sekolah, pabrik, pasar, ladang, sawah dan sebagainya, pastilah mempunyai waktu luang di tengah-tengah kesibukannya. Dan dari waktu luangnyalah manusia membangun kerangka sejati mengenai dirinya.
Orang-orang yang tidak punya kegiatan dalam hidupnya berpotensi sekali untuk melakukan pergunjingan dan gosip. Kosong tanpa kegiatan sama saja dengan mobil yang didorong. Jalan sendiri di sebuah jalan menurun. Jadilah mobil itu menabrak ke sana ke mari tanpa tujuan. Manakala suatu hari kita mengalami kekosongan dalam hidup, bersiap-siaplah untuk menyambut datangnya kesedihan, kesusahan, dan ketakutan. Sesungguhnya kekosongan kita akan membuka semua arsip masa lalu, masa kini, dan masa depan dari panggung kehidupan sehingga kita berada dalam kondisi yang rumit.
Maka dari itu, mari kita isi kekosongan yang mematikan ini dengan melakukan kegiatan yang membuahkan hasil dan bermanfa’at. Kekosongan itu ibarat seorang pencopet yang sedang menunggu mangsanya. Begitu kita mengalami kekosongan, maka saat itu juga kita akan diserang gempuran ilusi dari angan-angan dan saat itulah akan hilang seluruh diri kita.
Oleh karena itu, marilah kita bangkit mulai dari sekarang untuk mengisi kehidupan ini dengan berbagai kegiatan positif. Seperti ibadah, membaca, bertasbih, menelaah sebuah buku, menulis, merapikan meja kerja, atau memberi hal yang berguna bagi orang lain. Maka insya Allah kebahagiaan akan kita peroleh. Apa yang harus dilakukan? Membaca merupakan salah satu jawabannya. Baik itu membaca Alquran, kitab-kitab hadits, buku-buku ilmu pengetahuan dan motivasi, sampai membaca situasi kehidupan di sekeliling kita. Sehingga dengan begitu, waktu luang tidak akan terlewati dengan percuma.
Mari renungkan, orang-orang yang telah mendahului kita begitu antusiasnya terhadap buku dan begitu efektifnya mereka memanfaatkan waktu. Maka sudah sepantasnya kita yang hidup di dunia serba modern ini di mana buku-buku sudah tersebar merata bahkan di internet pun dengan mudah kita bisa mengakses berbagai ilmu pengetahuan. Maka patutkah kita berdiam diri membiarkan waktu luang kita berlalu begitu saja?
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ، وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ، الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ ، وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ، فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ، وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ .
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ:
فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَاكُمْ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ، وَقَالَ تَعَالَى : إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم، وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ.
أقيموا الصلاة !!!